Menunggu Hujan
( Hari Budianto)
Hari sudah sore. Daun-daun kering itu beterbangan. Diombang-ambingkan angin. Dibawa ke kanan, ke kiri dan kadang ke atas lalu dilepaskan hingga meluncur deras ke bawah. Ah, seperti pikiranku saja. Entahlah, mengapa aku begitu bingung hari ini. Tidak seperti biasanya. Biasanya aku selalu tanggap dan cepat jika ambil keputusan. Tapi kali ini…
Kutundukkan kepalaku, sambil kupegangi dengan dua tanganku. Ya Tuhan, kemana hilangnya akalku. Mengapa perasaan ini menggodaku. Perasaan ini pula yang membuat jari-jariku bergetar. Ya, perasaan ini juga yang membuat bibirku tak mau berkata apa-apa. Hanya diam rapat membendung lidah yang mau bergerak untuk berkata.
Aduuuh! Kenapa aku ini. Padahal dia pasti menunggu aku. Aku mulai berjalan mondar mandir di koridor itu. Haruskah? Inikah waktunya? Apa aku harus? Wah… wah…wah! Harus sekarang juga! Pokoknya harus! Bukankah dia sudah menunggu aku di sana. Tapi…
Bukankah dia juga yang membuat aku jadi seperti ini. Mengapa baru-baru ini aku tahu kalau dia begitu mempengaruhi aku. Padahal dulunya aku tidak merasakannya. Kini, setelah rasa itu datang aku jadi tak berdaya.
Lihat matanya yang lembut itu. Tatapannya. Seakan bulu matanya yang lentik itu mengelus dasar hatiku. Siapa yang tidak bergetar melihatnya? Belum lagi senyumnya, jernih terpancar jiwa yang bersih. Hingga hati ini menjadi adem. Sebenarnya aku tak tahu bagaimana rasanya. Pokoknya kukatakan adem saja, daripada harus kuterjemahkan rasa kagum, tentram, hangat, bimbang dan gaduh yang bercampur aduk menjadi satu.
Padahal waktu pertama kali kenal aku tak merasakan apa-apa. Hanya saja dia tergolong cewek yang cantik. Itu saja. Nggak lebih dan nggak kurang. Aku kenal pun juga secara kebetulan. Waktu itu, aku terlambat masuk kelas untuk pertama kalinya masuk SMU. Semua bangku sudah terisi, kecuali satu bangku yang di sebelahnya ada mahluk manis yang amat pendiam. Ya, terpaksa aku duduk di sebalahnya. Terpaksa? Nggak juga! Siapa sih yang nolak duduk di sebalah mahluk manis? Walau pendiam, tidak menjadi soal. Karena aku memang agak risih dengan cewek yang bawel. Ketika duduk, langung ku sodorkan tanganku, "Aku Aji, kamu?" Dia diam saja tengelam dalam bukunya. Sombong amat! Kesanku pertama. Tapi setelah beberapa hari, kami jadi akrab. Mulai dari pinjam penghapus, pensil, bollpoint dan lainya. Cara kenal yang aneh menurutku. Bahkan aku tahu namanya pun ketika dia menacungkan tangan waktu diabsen. Setelah aku akrab dengannya pendanganku tentangnya mulai berubah. Ternyata dia teman yang asik diajak ngobrol. Lebih kelihatan dewasa pandangannya. Selalu berusaha sopan dan tidak ingin membuat orang lain kecewa karenanya. Pokoknya, sempurna betul dia jadi wanita yang luwes dan anggun. Tapi jangan tanyakan kalau sikap pendiamnya jadi kumat. Sikapnya yang ini saja yang bikin hatiku sering gemes.
Plaaak! Salah satu daun kering itu menampar mukaku. Gila! Mengapa aku jadi melamun di sini. Lansung aku berdiri dan melangkah ke depan. Pasti dia sudah menunggu aku. Awan-awan hitam itu mulai bergulungan, bertabrakan sehingga suaranya bergemuruh susul menyusul. Seperti suara di hatiku. Semakin ke depan aku melangkah semakin tak karuan saja hatiku. Kulewati tiang-tiang koridor itu. Begitu kokoh mereka menyangga atapnya. Kuamati mereka sambil berjalan. Iri aku pada mereka hari ini. Mengapa aku tidak sekokoh tiang koridor itu? Aku jadi teringat puisi yang kutulis padanya. Kutuliskan tentang kesombongan benteng yang kini runtuh hanya karena angin lembut yang menyentuhnya dari dalam. Dan sialnya, gara-gara puisi itu juga aku harus menemuinya di sini. Titik-titik air hujan yang jatuh ke atap mulai mengiringi langkahku. Ku tatap ke atas sebentar. Rintik-rintik itu semakin banyak berjatuhan. Ah, biarlah seperti hujan itu, pikirku. Biarlah berjatuhan asal kembali ke jatuh ke bumi. Ya, biarkan saja. Plak ! Tiba-tiba sesorang menepuk pundakku. "Hei, kok berhenti di sini," ternyata dia yang datang.
"Sudah lama?" tanyaku. "Nggak juga." "Bagaimana? Kamu sudah siap cerita?" Langsung aja dia tanya tentang puisiku. "Bukankah kamu sudah tahu isinya?"
"Iya, tapi aku kan juga pingin tahu siapa sih yang sanggup meruntuhkan hatimu?" Aku sempat heran, kenapa dia begitu terus terang. Tidak seperti biasanya.
"Tapi kalau kamu nggak mau cerita juga nggak apa-apa, kok!" "Aku sadar si…" "Sudahlah." Kataku memotongnya. "Kalau aku jadi datang ke sini, itu artinya aku mau cerita sama kamu."
"Gadis itu sebenarnya sudah lama aku kenal." Kulirik dia, ternyata dia mendengarkan dengan sabar. Syukurlah. "Dia seorang yang sabar, mengerti aku. Dan aku tertarik dengan kedewasaannya. Teman-teman sering menyebutnya pendiam. Bagiku sih tidak. Hanya saja kadang-kadang seperti itu. Awalnya sih, aku nggak ada perasaan apa-apa. Tapi ketika hubungan kami mulai akrab, mulailah tumbuh bunga-bunga di hatiku…Lalu aku menoba memastikan apakah aku benar-benar menyukainya. Karena aku…."
"Siapa gadis itu?" Eh, tumben dia nggak sabaran. Biasanya dia selalu sabar jika aku curhat ke dia. Tapi hari ini…
"Tapi bukankah kau ingin…."
"Aji….Aku ke sini untuk mengetahui siapa gadis itu." "Baiklah," akhirnya aku mengalah. "Gadis itu sekarang ada di depanku. Gadis itu adalah kamu Sekar!" Sejenak matanya menjadi bulat penuh memandangku. Kemudian dia menunduk. Masihkah aku punya harapan, pikirku.
"Mengapa aku?" tanyanya. Aku diam tak menjawabnya. "Mengapa baru sekarang?" Dia masih menunduk.
Aku semakin bingung menjawabnya. Ini tak terduga sama sekali. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku menyukainya. Itu saja. Aku benar-benar nggak siap menjawabnya. Sementara hujan mulai deras mengguyur. Ya, biarlah hujan turun membasahi bumi. Basahi hatiku yang tak menentu. Lalu aku berdiri melangkah menuju derasnya hujan.
"Mau ke mana kau?" Sekar keheranan. "Kau mau tahu jawabnya?" Lalu aku melangkah keluar koridor dan membiarkan hujan mengguyur tubuhku. "Kau mau tahu mengapa baru sekarang aku katakan, karena aku menunggu hujan turun deras. He….he….he…."
Dia pun tersenyum. Aduhai baru sekarang aku merasa senyumnya yang begitu indah dihadiahkan hanya untukku. Terima kasih Tuhan, kau kirimkan hujan dan senyumnya untukku.