Wednesday, July 02, 2003

Catatan Untuk Seorang Kawan

Satu hal yang ingin saya tulis, bahwa ternyata, harapan-harapan itu, bisa menjadi sebuah semangat tersendiri untuk tetap merangkai waktu dalam hidup, walau itu juga bisa berarti awal dari sebuah keterhempasan yang menyakitkan,

Sunyi yang tinggal di jiwaku, telah sedemikian menciptakan suasana dalam hatiku untuk menghidupkan benda-benda di sekitar ruang keberadaanku, menjadikannya sahabat-sahabat setia yang sangat menyenangkan ketika mereka kusaksikan seolah benar-benar mengabdi dan memberikan cintanya padaku, sedemikian hidup kurasakan mereka dalam jiwaku, kondisi ini membuatku menyayangi dan mencintainya, ketika aku hanya bisa berbicara terhadap diriku sendiri, dan kusaksikan mereka menyadari diriku sepenuh apa adanya,

Jiwaku yang menghendaki kebebasan dalam hidupku, kusadari untuk siap menerima segala konsekuensi, bahkan kalau akhirnya aku harus jauh dari jiwa-jiwa,

Coretan-coretanku ini, siapa tahu bisa berguna bagimu, ketika suatu saat nanti jiwaku telah terlepas dari keberadaan bumi, dan engkau ingin mengurai kembali tentang perjalanan hidupku,

Mungkin engkau bisa menulis, bahkan ia (aku) adalah sepotong jiwa yang senantiasa kesepian, yang sadar bahwa semua itu akibat dari hasratnya yang menggebu untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginan yang membakar jiwanya,

Ia-lah jiwa yang senantiasa memendam hasrat cintanya dalam perih dan kembali menemukan sunyi ketika semua itu terbang dari sisinya,

Ia-lah jiwa yang teramat malu untuk berurusan dengan segala kemajuan dan keanekaragaman zaman, dan ingin benar-benar menikmati hidup sesuai dengan kebebasan yang ia damba,

Ia-lah jiwa yang berharap bahwa cinta adalah penyatuan keindahan, walau itu hanya sempat hidup dalam bayang khayalnya, ketika jiwa-jiwa pergi dari hadapan wajah hidupnya, dan menganggap bahwa kesatuan dengannya adalah terlalu memalukan untuk dihadapkan pada wajah bumi,

Ia hanyalah seorang bocah yang tidak memiliki pegangan, atau sebenarnya bukan itu, ketika ia telah mengetahui semuanya, dan merasakan bahwa semua itu tak memuaskannya, dan akhirnya ia lalaikan, untuk mencari jalan sendiri,

Ia-lah jiwa yang teramat malu dengan kesegaran, atau apapun namanya, ketika ternyata ia tak membutuhkan semuanya, atau bisa jadi karena ia tak mampu memilikinya untuk ia rangkul di ketiak jiwanya,

Atau engkau bisa menuliskan bahwa jiwaku yang memendam perih dari hari ke hari , sedemikian larutkan hidupku dalam ketiadaan pada setiap detiknya yang berlalu dalam tatapan kosong mata jiwaku, yang ku tak tahu lagi, entah sudah kemana perginya,

Bahwa aku adalah jiwa yang tidak sabar untuk mendapatkan kebaikan itu mampir dihadapan wajah hidupku, sehingga mengajakku untuk mencari dalam ruang jiwaku sendiri dan segera raih itu di tanganku,

Atau ketika sepotong jiwa menegurku, dan kurasakan itu sebagai sebuah godam yang menikan diriku, setelah ku tahu, bahwa dalam hidupku tak pernah kurasakan jiwa-jiwa menyakitiku sedemikian, dan kusadari bahwa aku tak pernah mengusik kediaman jiwanya,

Bahwa jiwaku adalah jiwa yang tak bisa membedakan mana yang sebenarnya kenyataan dan mana yang semuanya khayalanku semata, dan kondisi ini memaksaku untuk berfikir , apakah aku sedemikian pantas hidup bersama jiwa-jiwa , ketika kutemukan jiwaku tak sebagai mana jiwa mereka,

Bahwa aku adalah jiwa yang bodoh , pemalas, namun penuh cinta, walau aku tak tahu akan hakekat cinta, selain bahwa cinta itu biarlah cinta saja, cinta itu biar tumbuh begitu saja, dan jangan ia dibebani dengan beragam syarat yang memberatkan jiwanya,

Atau aku adalah jiwa yang sedemikian hidup dalam kebohongan, yang semua itu hanyalah bayangan dari khayal ketakutanku saja,

Atau engkau akan mengatakan bahwa aku adalah sekuntum jiwa yang terlalu mendamba sebuah mikjizat untuk hidup dalam jiwaku,

Atau engkau bisa mengatakan bahwa aku adalah jiwa yang sengaja memelihara lapar dalam tubuhku, dan kautak bisa berbuat apa-apa terhadap keputusanku ini, dan akhirnya engkau membenci diriku, ketika melihatku tak berbuat apa-apa untuk itu, apalagi berkaitan dengan nasehatmu,

Mungkin aku hanyalah sepotong jiwa kerdil yang mendamba hidup di awan-awan dan sedemikian kurasakan jiwaku telah terbang, walau aku sadar, bahwa kakiku masih sebagaimana manusia lain, mengenakan terompah dan menginjak lantai bumi,

Atau aku sebenarnya adalah jiwa yang teramat miskin yang tak bisa mengandalkan apa-apa selain belas kasih alam yang mungkin suatu saat tiba-tiba berpihak padaku, memberiku inspirasi, sebuah keindahan.

*Arini Hidayati, Jiwa-jiwa pencinta, catatan untuk seorang kawan hal.193

Kini, hampir setiap pagi subuh pun aku sudah terbangun, atau entah apakah terpaksa untuk bangun, semenjak aku tidak lagi di yogyakarta, kota yang begitu memanjakan aku selama lima tahun kebelakang. Suara azan dari beberapa surau yang ada di sekitar kampungku, seperti butiran air, yang menyiram sejuk masuk ke dalam kamarku yang sudah tidak lagi pengap. Aku memang sudah berada kembali di rumah tempat adik-adikku di lahirkan, rumah tempat bapak dan ibuku membesarkan aku, di sebuah kampung yang ada di wilayah kabupaten indramayu, jawa barat.
Sunggu tidak terasa, hampir sebulan lebih ada di rumah ini, rumah yang aku tinggalkan hampir delapan tahun lamanya, sudah begitu banyak berubah, juga dengan keadaan sekitarnya, surau tempatku dulu mengaji, sekarang sudah tidak lagi memakai seng sebagai atapnya, sudah di gantikan genteng dan juga tembok yang bercat hijau muda, sungguh berbeda dengan keadaan aku kecil dulu, hampir 15 tahun yang lalu waktu aku hampir tiap malam mengahabiskan waktu untuk berada di dalamnya yang hanya di terangi dengan lampu templok, sekarang semuanya telah di gantikan oleh neon 20 an watt, sunggu sangat jauh berbeda.
Sungguh keadaan telah berubah, tapi kenangan demi kenangan itu masih begitu kuat terbayang, aku belum bisa melupakannya begitu saja.
“andiiii, bangun.!!”
Ugh..kebiasaan, kesah batinku
“iyah..iyah”
sekarang rutinitasku cuma sekedar rutinitas, bangun pagi, laporan sama Tuhan untuk sekedar mengucapkan syukur untuk nafas yang sudah Dia pinjamkan, sehabis itu keluar rumah, sekedar untuk melemaskan otot-otot kaki ini, dan itu tidak pernah aku lakukan selama aku ada di yogyakarta, memang sih, untuk bangun pagi, di yogyapun aku bangun pagi untuk kemudian tertidur kembali.
Kususuri jalanan pagi kampungku yang masih tertutup oleh embun pagi, tapi tidak sedingin pagi di yogya, ku susuri jalanan yang membelah desaku itu, jalan yang menghubungkan kota kecamatan dengan kota kabupaten di seberangnya, dengan hamparan sawah di kanan kirinya “andai dia ada di sini” keluh batinku, sembari menerawang di sisi jalanyang memang masih sangat sepi itu, memandang keremangan sawah yang masih terselimuti kabut aku teringat ....
Sebuah kerinduan yang mungkin cuma aku yang merasakannya, kerinduan pada sesuatu yang aku sendiri belum terlalu mengerti apakah ini nyata ataukah hanya sekesar kerinduan sesaat.
Semilir angin membuyarkan lamunan, cahaya matahari yang mulai menerpa kulit ini dari sela-sela dedaunan pohon mangga yang memang cukup banyak di daerahku, hangatnya ku rasakan, sunggu andai itu...

Dan akupun membisu
Hamparan ladang mengingatkanku
Sebuah cerita yang pernah kita tuliskan bersama
Senandung rindu yang kerap kita lantunkan menjelang malam tiba
Kerinduan adalah abadi dan perpisahan adalah pasti
Cinta adalah perbedaan yang tidah harus di samakan

Dalam keseharianku sekarang, tidak lagi pernah ku dengarkan lagi alunan musik semacam scorpions ataupun bad english maupun sepultura yang dahulu sering aku dengar dari kamar sebelah, sekarang yang terdengar adalah lagu-lagu tarling dangdut atau bahkan sering kali lagu-lagu india yang sama sekali aku tidak mengerti bahasanya tapi sangat sering membuatku tersenyum sendiri jikalau mendengarnya.
Embun pagi di desaku masih tetap sama seperti halnya 15 an tahun yang lalu, hanya sekarang lebih banyak asap yang aku hirup, lebih banyak rumah yang aku lihat dan semakin keringnya sawah aku pandang, dan jalan desaku pun sekarang sudah beraspal hotmix mulus memanjakan para raja jalanan memacu kuda besinya dengan cepatnya yang terkadang tidak lagi menghiraukan apakah dia sendirian atau bersosialisasi di jalanan itu, tapi itulah konsekuensi jaman, nenekku pernah bercerita bahwa dulu di depan rumahku ada rel kereta yang melintasinya, dan sekarang rel kereta itupun hilang tertimbun jaman, adik dari nenekku pernah cerita bahwa dulu banyak sekali burung-burung liar di kebun belakang rumahku, tapi sekarang, jangankan burung, kicau dari kejauhanpun jarang kali aku dengar keberadaannya, sungguh alam sudah sedemikian berubahkah?, sekarang kakilangit sudah banyak di penuhi asap, sekarang kakilangit sudah banyak menghasilkan polusi, sawah-sawahku meradang sakit akibat penggunaan obat-obatan kimia yang berlebihan, tanaman padiku menggeliat mengerang dan berontak, mereka rindu akan segarnya pupuk kandang, sekarang semuanya teracuni oleh pupuk-pupuk kimia ah sungguh malang nasib mereka, tanah ku tempat dulu aku bermain sekarang sudah tidak lagi hitam, lapangan tempatku dulu bermain layangan sekarang sudah berubah jadi pasar, adik-adikku sekarang cuma mengenal play station, time zone, sega, sungguh sangat menyedihkan, kemana mainan mobil-mobilan dari kulit pohon pisang yang dulu sangat-sangat populer di kampungku?, rakit-rakitan dari batang pisang?, kemampuan berfikir mereka sudah sangat jauh melebihi usia sesungguhnya, dulu waktu aku kecil maenanku hanyalah tanah liat, sekarang adik-adikku memainkan lilin malam, sungguh beruntung mereka tapi sangat jauh beruntung aku, karena aku masih bisa tau sebuah jaman dimana semua yang ada saat itu tidak ada sekarang ini.

Apa aku merasa kehilangan?
Bukankah seseorang merasa memiliki seseorang lainnya itu hal yang wajar?
Bukankah rindu sesuatu itu hal yang manusiawi?
Apakah mencintai itu harus ada aturannya?

*Geliat sebuah jiwa yang berkata,
... lihatlah kehidupan!
Langit yang membentang tak terbatas
Membingungkan para pencari timur dan barat
Bumi yang terhampar
Matahari yang bersinar
Bulanyang menggantikan matahari
Bintang-bintang yang menemani
Dan awan yang menurunkan hujan,
Apa artinya semua ini
Dari mana asalnya*
*Arini Hidajati, Jiwa-jiwa pencinta, Suatu Hari di ujung sebuah desa, hal 151

*aku terkenang sebuah tempat
tidak di dunia ini
tapi mungkin dalam mimpi abadi
tempat tinggal teduh dalam khayal
melabuhkan pedih karena lama berjalan

burung-burung, burung bernyanyi dan berdendang
tinggalah di dahan pohon randu
lagukan merdu menghibur rumahku
rumahku dibangun dalam rindu sepi bertalu
ketika sudah lama menatap
tak satupun menerima harap

di situ dalam lingkar hijau pupus
kan kuendapkan sesu sedan lama tersimpan
sampai dasar sungsum ketentraman
rinduku selama ini dalam pengejaran
rinduku selama ini dalam pengejaran*
*Kuntowijoyo, mantra penakluk ular, hal 168

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Top Web Hosting | manhattan lasik | websites for accountants