aku kabarkan pada kalian semua bahwa sawah-sawah di kampungku sudah mulai panen padi, butiran padi yang menguning padat berisi sudah mulai di sabit dan menerima pinangan tangan para petani yang giat dan rajin merawat mereka sepanjang musim tanan kemaren, semangat cinta kasih yang terus bergelora tanpa kenal lelah untuk kemudian berbaur dalam tawa di saat panen tiba, cinta yang tumbuh dalam sepinya sawah-sawah mereka dan terus tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, tanpa pernah beranjak dari tempat dia memulai dan mengakhiri segalanya.
dulu aku sering berduaan dengan adikku di pematang-pematang sawah, berdua memandangi sawah-sawah desaku yang subur makmur, tak bosan-bosannya memandangi hijaunya padi yang baru di semai oleh para petani yang rajin itu. dulu adikku paling suka berkejaran dengan capung-capung sawah, terkadang dia menyelipkan bunga padi di antara rambutnya yang hitam tergerai, sungguh kenangan yang indah.
dulu adikku paling suka duduk di bawah pohon mangga yang ada di pinggir pematang sawah sambil menuliskan beberapa puisi yang indah, menyatukan diri dalam kesepian sawah-sawah desaku untuk sekedar menyerap segala kekuatan imajinasi yang di suguhkan salam kesepian itu sendiri.
tapi itu cuma sepengal cerita yang entah kapan di mulainya, juga aku sendiri tidak bisa memastikan kapan semua keceriaan itu berakhir dengan sendirinya, yang aku ingat mungkin sekitaran tengah tahun pada dua tahun yang lalu segala keceriaan itu pudar dengan perlahan, berawal ketika adikku di saat menyendiri di tengah pematang sawah di pagi hari yang cerita terkena gigit ular berbisa yang biasa menemani dia dalam kesendirian.
pada awalnya adikku begitu akrab dengan ular itu dalam impian dia, sering dia menceritakan padaku betapa baik ular belang yang dia kenal lewat mimpi tengah malam itu, mereka saling bercerita dan saling mencinta tapi hanya dalam mimpi saja, sampai pada suatu ketika adikku bercerita bahwa ular itu berjanji akan menemuinya di pematang sawah tempat biasa dia menemui adikku di dalam mimpinya. dan tentu saja adikku dengan semangatnya menceritakan semua itu kepadaku, sungguh bahagianya memandang wajah adikku saat itu, penuh pancaran cinta kasih dan kerinduan yang amat sangat tulusnya.
waktu aku bilang dia harus hati-hati dengan berbagai macam ular dengan segala bentuk nya itu, dia cuma merengut dan bilang kalau aku hanya cemburu pada ular kekasih dia itu, padahal sungguh aku tidak pernah mempunyai perasaan itu, aku cuma takut adikku tersakiti, karena bagaimanapun aku sangat-sangat menyayangi adikku yang semata wayang itu.
akhirnya segala apa yang aku takutkan itupun terjadi, ular yang dia begitu-begitu rindukan dalam hayalnya, walau pada awal pertemuan mereka menunjukan betapa-betapa sangat-sangat menunjukan wajah cintakasihnya pada adikku, akhirnya melilit, menggigit dan mencabik-cabik seluruh cinta kasih yang adikku punyai, dengan bisanya di sakitinya adikku, dengan mulutnya, dilumatnya mulut adikku, dengan tubuhnya, di tindihnya adikku, dan dengan segala macam suara desisnya, di buainya adikku, dan setelah itu dia pergi begitu saja setelah adikku tergeletak tanpa daya di pematang itu sendirian, itu hampir dua tahun yang lalu berlalu, dan adikku masih terkapar tak berdaya, walau adikku masih sangat-sangat merindukan ular itu untuk kembali, walau itu tak mungkin terjadi, atau hanya sang waktu yang akan memberikan belas kasih, hingga ular itu suatu saat nanti bisa kembali dengan segala cinta kasih atau mungkin dengan segala bisa dia yang telah terbaharui. entahlah, aku hanya menuliskan kisah ini untuk sekedar menghilangkan kesepian dan untuk menghibur para petani yang rajin dalam manuai padi, agar hati-hati, yah, hati-hati.