Monday, January 27, 2003

??jadi aneh?? aneh?? weks aneh??

jalan-jalan di yahoo pagi ini, dan aku menemukan beberapa link yang menurut gue bisa gue baca. Kolektif bunga yang memuat beberapa artikel yang menarik, puisi cinta juga pencarian tentang sejarah. entah kenapa koq gue seneng banget sama yang namanya sejarah, gue suka banget baca-baca mengenai sejarah, terutama tentang sejarah pasundan dan tentu saja khususnya sejarah mengenai daerah gue sendiri yang sampai sekarangpun belum pernah aku temukan referensi yang kumplit di inet ini, dulu gue pernah punya buku tentang cirebon, tulisan dokumentasi orang belanda dulu, cuman ilang, sebenernya bukan ilang sih, cuman di pinjam enggak balik lagi, hahaha, ya udah gue anggep aja ilang. terkadang sejarah yang tertulis dan sejarah lisan (mitos) itu saling bertentangan, tapi dari mitos yang ada bisa di buktikan dengan bukti tertulis juga, jadi bertentangan apa enggak yaa..?, yang pasti sejarah lisan lebih di besar-besarkan ketimbang sejarah tertulis, atau bahkan terkadang malah sebaliknya, sejarah tertulis lebih pandai berbohong dari pada sejarah lisan yang berkembang, jadi untuk memahami sejarah kayaknya tidak bisa di pandang dari satu sisi yaa..:), sama seperti sejarah negeri ini dari dulu hingga sekarang dan esok hari nanti ..:)

SURAT KEPADA ANAK-ANAK YANG MEMILIH UNTUK DIAM DALAM KEPATUHAN (Kolektif Bunga)

Di kaki langit sebuah senja yang menyemburatkan cahaya keemasan, sepucuk surat tergeletak lusuh tak tersentuh. Aku memungut dan membacanya:

Anak-anakku, masih lekat di dalam ingatan bagaimana kegairahan meluap meledak-ledak mendengar tangismu yang pecah seiring tarikan nafas pertama menghirup udara dingin dunia. Kami menyelimutimu dengan kasih. Kami dendangkan kidung kehidupan agar nafas hangatnya meniup lembut relung-relung benak dan sanubarimu. Kelak, akan engkau hembuskan kembali kehangatan itu untuk kehidupan.

Kami memenuhi hari-hari bukan hanya dengan doa untukmu. Kami tunjukkan dunia kepadamu, sekalipun itu bukan dunia yang tinggal engkau amati dan nikmati. Tidak, tidaklah kami pilihkan sebuah dunia yang siap untukmu. Kami menghadapkanmu kepada kemungkinan-kemungkinan yang membentang luas di dalam ruang-waktumu sendiri. Engkau bermakna ketika menuju ke dunia esok yang tidak membelenggumu ke dalam sisa-sisa masa lalu kami. Engkau bukan tawanan masa depan kami. Engkau merajut benang-benang duniamu sendiri, menyatukannya ke dunia engkau-yang-lain, menyentuhkannya ke dunia kami, menjalinnya ke dunia yang meng-kita. Engkau ada karena mengada dalam sebuah dunia bersama.

Ketika dalam kebebasan itu sebagian di antaramu memilih berseragam dan bersenjata, kami bertanya, dunia seperti apakah yang akan engkau bentangkan? Sebuah dunia nyaman karena kamilah mesin penenun keamanan, begitu engkau menjawab. Kami lafalkan janji pembela kejujuran, kebenaran, dan keadilan, serta untuk berbakti kepada negara dan bangsa, katamu. Kami suguhkan sebuah dunia tenteram karena kami alat yang merangkai permusuhan menjadi perdamaian, katamu pasti.

Kami, ibu-ibumu, mempercayai janjimu. Kami bangga karena alat bisa menjadi teramat handal, apalagi jika itu sebuah mesin. Mesin menerima informasi untuk mengemudikan tindakannya. Tetapi salahkah jika kami juga bertanya, bukankah mesin hanya memberikan pelayanan kepada sang pemasok informasi? Bukankah mesin adalah pelayan pasif yang tidak bertujuan di dalam dirinya sendiri? Bagaimanapun, kami masih menyimpan romantisme masa lalu bahwa mesin sekalipun tentu tidak melepaskan fungsinya untuk berpusat kepada kehidupan.

Di bawah senja yang merahnya kian membakar langit, kulanjutkan membaca:

Tetapi anak-anakku, kini datang seorang ibu bertanya kepada kami dalam kedukaan yang perih. Apa yang telah terjadi denganmu? Apa yang mereka semaikan ke dalam benakmu sehingga daun-daun hijau kehidupan yang sudah lama kita tanam, sirami, dan tumbuhkan bersama di sana engkau biarkan berputar-putar dan tenggelam di bawah arus dahsyat kekuasaan? Apa yang mereka tiupkan hingga nafas hangat hembusan kami ke dadamu membeku dalam jiwa yang kian sunyi dari nyanyian kemurahan hati?

Cukupkah sumpah setia kepatuhan membuatmu melumuri jiwamu dengan darah sebagian di antaramu? Sebagian yang lahir dari rahim-rahim kami seperti engkau, namun yang memilih untuk tidak menjadi mesin dalam keseragaman. Tidakkah yang sebagian itu terengkuh oleh cakrawala janjimu? Mengapa sumpahmu atas nama Sang Pengasih malah menjadikan dirimu sebuah perkakas untuk mereka yang memerintah dan menguasaimu? Adakah yang bisa engkau katakan ketika kami menggemakan dengan nyeri di hati, ucapan penyair Dylan Thomas: Hands have no tears to flow. Kekuasaan itu tiada bernurani, anak-anakku.

Pernah kami bisikkan bahwa menyeragam adalah memasuki kepatuhan yang tiada tara. Kepatuhan dalam hubungan yang bukan engkau-aku, bukan kita, bahkan bukan semata-mata antara sang

penguasa dan serdadu-serdadunya yang patuh. Engkau sudah memasuki hubungan antara yang memilih untuk berkuasa dan yang mengarahkan wajah kepadanya untuk mendengarkan hukum-hukumnya. Engkau hanyalah pendengar karena engkau memang yang menghendaki kepatuhan itu. Engkau bahkan tak kuasa menyimak batinmu yang menangis ketika wajah sebagian di antaramu menatap dari balik sepatumu yang berat itu dengan kesakitan. Maukah engkau menceritakan, apa yang kau dengar setiap pagi di lapangan hijaumu, sehingga ketika kami menemukan solidaritas di-dalam-dunia, engkau masih terus saja mencarinya dalam tujuan dan kepentingan?

Kemudian, engkau akan bertanya, mengapa ibu tak berbangga untuk kami yang teguh kepada tugasnya? Anak-anakku, engkau hanya mengingatkan kami akan cerita tentang Tolstoi, penulis Rusia kenamaan itu. Tolstoi yang menegur rekannya yang menampar salah seorang anak buah, 'Tidakkah engkau malu memperlakukan sesama manusia seperti itu? Bukankah engkau pernah membaca Kitab Suci?', ternyata dijawab singkat, 'Bukankah engkau pernah membaca peraturan militer?'

Apakah kepatuhan membahasakan diri lewat kekerasan?

Dalam pekat malam yang menelan seluruh bayang-bayang tubuh, kuteruskan membaca:

Kami bertanya, seperti seorang filsuf pernah bertanya, siapakah engkau? Siapakah engkau sebelum ini, siapakah engkau yang datang kemudian, siapakah engkau yang akan selalu melampaui semua engkau yang sekarang?

Engkau yang asali, anak-anakku, adalah suara. Suara yang meng-aku-kan dirimu sekalipun itu adalah keterbuangan dari keseragamanmu; suara yang menanggalkan semua identitas yang-mungkin, yang mencerabutmu dari engkau yang-mereka. Suaramu adalah cara engkau menemukan diri di dalam dunia. Namun tak kau kenali suara yang memanggil dalam kesenyapan itu, karena hanya dengan kesediaan mendengarkan dalam keheningan engkau memperoleh engkaumu kembali yang pernah menjanjikan kesetiaan kepada keadilan dan kebenaran. Keheningan memang begitu asing untukmu sekarang. Engkau hanya mendengar; mendengar terlalu banyak dalam hingar bingar kemenangan.

Bertahun-tahun menjelang tidur malammu, kami kisahkan bukan hanya para raja dan pahlawan yang menang dengan gagah perkasa. Engkau kerap bertanya, mengapa ibu menceritakan kesedihan mereka yang tak berdaya tak berpunya, yang mati meneriakkan keadilan kebenaran? Engkau bertanya, karena untukmu makna ada dalam kekuasaan menaklukkan dunia. Tetapi, tidakkah makna adalah juga daya-daya untuk dikisahkan kembali sehingga kita semua belajar dari sejarah dan menarik garisnya untuk kita sendiri? To be memorable, begitu filsuf Hannah Arendt pernah menuliskan untuk kami.


Maka, anak-anakku, dalam kebenaran seseorang tak pernah kalah dan tak akan pernah mati.

Jika engkau menegaskan bahwa sumpah mengikatmu ke dalam kepatuhan kesamaan sekalipun itu penyangkalan atas suara hatimu, haruskah kami kini memilihkan dunia untuk anak-anak kami selanjutnya? Haruskah kami menolak cita-cita saudara-saudaramu yang hendak bergabung denganmu? Engkau telah menyempitkan dunia; engkau mengabaikan suara kehidupan; dunia yang engkau bentangkan boleh jadi aman, namun dinginnya menggentarkan kami.

Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita dapat saling bertutur sampai kami terengkuh ke dalam kisahmu, dan engkau kami peluk dalam lengan-lengan cakrawala kami yang membentang dalam keluasan kehidupan. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita berkisah sampai derita dan pedihmu, derita dan pedih kami, kesukacitaanmu dan kesukacitaan kami, menjadi kenangan kita untuk membangun sebuah dunia bersama. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita saling berkisah menanggalkan sumber utama kebencian. Yakni, percaya terlalu besar kepada ke-akuan-ku, ke-engkau-anmu, ke-kami-an kami, ke-merekaa-an mereka. Kita saling berkisah untuk menanggalkan penjara yang jerujinya membelenggu kita di dalam pensucian dan pemberhalaan suatu proses pencarian kesamaan. Kesamaan, seperti kata seorang pemikir terkemuka Edward Said, yang telah membuat kita masing-masing memandang “ke-kita-an kita” masing-masing sebagai benda tiada bercacat.

Di dalam kisah-kisah yang tak berperangkap itu, anak-anakku, kebenaran menunggu untuk disingkapkan.

Di bawah kaki langit dini hari yang heningnya membumbung membuka langit untuk sebuah cahaya pagi, kubiarkan surat itu menggeletak . . . dalam terang tanah yang melahirkan kembali bayang-bayang diri.

Sunday, January 26, 2003

PERANG BUBAT (Menurut Kidung Sundayana)

... padang Bubat,
Sri Baduga gugur di tangan Gajah Mada, tapi Diah Pitaloka dan ibundanya memilih bunuh diri ketimbang "berputih mata" di bawah kekuasaan Majapahit. Dua bilah keris menembus jantung mereka.
-- Perang Bubat 1357M

Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.

Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara ada di hadapannya. Tetapi engkau hanya satu jiwanya yang senantiasa memohon pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.

Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.

Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan "dihadiahkan" kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan "di pinang" oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung Sindanglaya ini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Top Web Hosting | manhattan lasik | websites for accountants